Kisah nyata ini diceritakan kepada saya (Gus Hilmy) langsung oleh salah seorang pelakunya. Nama-nama yang terlibat terpaksa disamarkan, karena mereka semua sekarang sudah menjadi kiai-kiai muda, yang juga pemangku pesantren.

Sudah merupakan kebiasaan K.H. Mabarrun ketika ada jam mengajar di Pondok Krapyak, beliau akan menyempatkan sowan kepada guru beliau K.H. Ali Maksum rahimahullah. Setiap sowan, K.H. Mabarrun seringkali membawa bingkisan kepada gurunya itu.

Suatu pagi K.H. Mabarrun sowan dan memberi seekor ayam kepada Kiai Ali. Selain memang dikenal sebagai kiai dan dai masyhur di Bantul, K.H. Mabarrun juga adalah peternak ayam.

“Ya, Run, tak tampa. Wis kana pitike dideleh ning garasi.”[1] Begitu kata Mbah Ali sesudah menerima pemberian tersebut.

Nggih.” Jawab K.H. Mabarrun.

***

Singkat cerita, ayam tersebut dicancang di tiang garasi.  Saudi—sebut saja begitu, seorang santri ndalem, tahu bahwa K.H. Mabarrun membawa ayam tersebut dan langsung berpikiran untuk berpesta “Ayam Bakar Wong Bantul”. Dia kemudian mengajak santri lain yang juga masih kerabat Kiai Ali, sebut saja Muiz. Di samping sebagai bemper jika nanti ketahuan Kiai, Muis diajak juga demi alasan logistik: karena hanya dia yang memungkinkan tersedianya kelengkapan bumbu masak, mengingat aksesnya yang dekat dengan Ibu Nyai.

Kedua santri ini kemudian rembugan bagaimana eksekusi itu dilakukan.

“Gus, niki saenipun njenengan ngajak Mamik,”[2] kata Saudi kepada Muiz, menyebut putra K.H. Mabarrun yang juga mondok di Krapyak. “Tapi, njenengan ampun sanjang nek ayam niku saking bapake…”[3]

Ya wis, manut aku.”[4] Jawab Muiz sambil pergi ke kamar Mamik.

Ayam itu kemudian dimasak, dan dinikmati para santri dengan dikomandani oleh ketiganya.

Besoknya, Mbah Ali mencari ayam tersebut. Sesudah dicari ke sana ke mari tidak ketemu, lewat pengeras suara kemudian Mbah Ali mengumumkan, “Sapa ya sing njupuk pitikku sing seka Barrun? Hayo sapa?!”[5]

Mamik yang mendengar itu, langsung sadar dan bergegas konfirmasi ke Muiz dan Saudi.

“Dian*uk! Dadi sampeyan ngajak aku iku…”[6] Ia marah-marah sambil tangan kanannya siap melempar sandal. Muiz dan Saudi tentu lari tunggang-langgang.

Sorenya, Mamik terpaksa pulang ke Bantul, mengambil ayam.

 


[1] “Baik, Run, kuterima. Sudah sana, taruh ayamnya di garasi!”

[2] “Gus, sebaiknya Anda mengajak Mamik.”

[3] “Tapi Anda jangan bilang kalau ayam itu dari ayahnya…”

[4] “Ya sudah, ikut saja aku.”

[5] “Siapa ya yang mengambil ayamku dari Barrun? Hayo, siapa?!”

[6] “Jadi, kamu mengajakku itu…”