KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI daerah pemilihan DIY yaitu GKR Hemas, M Afnan Hadikusumo, Cholid Mahmud dan Hilmy Muhammad, mengadakan reses bersama, Senin (1/3/2021), di Kantor DPD RI DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta.
Kegiatan yang dikemas dalam Focus Group Discussion (FGD) kali ini membahas tentang pengawasan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja.
Diketahui, DIY memiliki potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) berupa energi tenaga surya, bayu atau angin dan ombak namun pemanfaatannya belum optimal. “Selama ini, riset maupun penggembangan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat belum berfungsi optimal,” ungkap GKR Hemas.
Menurut dia, masih ada berbagai permasalahan terkait pengembangan EBT. Antara lain, potensinya masih relatif terbatas. Selain itu, penggunaan EBT yang sudah ada pun belum maksimal.
Ditambah lagi, biaya perawatan relatif mahal, kemampuan SDM kurang, belum adanya subsidi pemanfaatan EBT serta penelitian dan pengembangan teknologi masih terbatas. Inilah pentingnya koordinasi lebih lanjut dengan PT PLN terkait dengan akses jaringan on grid pada sumber pembangkit EBT.
Pada forum itu, Afnan Hadikusumo mengungkapkan jika mengacu ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No 30 Tahun 2009, di antaranya disebutkan penyedia tenaga listrik, pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu.
Dari implementasi ketentuan ini, menurut Afnan, pemerintah daerah setidaknya dapat menaikkan rasio elektrifikasi (RE) menuju target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Yaitu, mengalokasikan APBD provinsi maupun kabupaten/kota untuk memberikan subsidi biaya penyambungan instalasi listrik baru bagi masyarakat tidak mampu.
“DIY belum memiliki pembangkit sendiri untuk mensuplai kebutuhan listrik masyarakat. DIY masih mengandalkan pasokan listrik dari jaringan interkoneksi Jawa-Madura Bali (Jamali) ditambah dari PLTU/PLTGU Tambaklorok, PLTA Mrica, PLTU Cilacap dan PLTP Dieng. Padahal DIY memiliki potensi EBT yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi primer seperti tenaga angin, tenaga air, gelombang laut dan tenaga surya,” paparnya.
Berdasarkan data pada RUPTL 2018-2027, DIY memiliki potensi panas bumi yang diperkirakan mencapai 10 MWe di lokasi Parangtritis dan Gunungkidul. Juga terdapat potensi energi angin sebesar 50 MW di Wates dan di Bantul sebesar 70 MW.
“Apabila hal ini dimanfaatkan tentunya akan selaras dengan kebijakan ketenagalistrikan nasional sebagaimana tertuang dalam RUKN 2019-2038,” kata dia.
Hilmy Muhammad juga mempertanyakan wilayah DIY belum tercover 100 persen jaringan listrik PLN. Upaya subsidi penyambungan aliran listrik ke rumah masyarakat miskin belum bisa menjadikan sebagian masyarakat tersebut bisa menjangkau biaya yang ditentukan.
“Seandainya dipaksakan pun akan mengalami kesulitan pembayaran tagihan penggunaan listriknya. Perlu peninjauan terhadap harga listrik per kwh khususnya untuk beban listrik 450 dan 900 watt,” kata dia.
Cholid Mahmud menambahkan, mengingat pemerataan kelistrikan juga dijadikan tolok ukur kesejahteraan masyarakat, maka perlu ploting APBN yang proporsional. Dengan begitu, semua lapisan masyarakat mendapatkan sambungan listrik serta tidak keberatan membayar beban listrik yang dipergunakan.
Keluhan masyarakat
Hadir dalam forum itu Ketua Lembaga Ombudsman (LO) DIY, Suryawan. Dia mengakui banyak keluhan masyarakat berkaitan tagihan listrik yang tidak sesuai dengan penggunaan. Kwh meter yang terpasang sering terjadi kesalahan.
“Sejak pemasangan belum pernah dilakukan kalibrasi Kwh meter sehingga sangat dimungkinkan terjadi ketidakakuratan kwh meter dalam menghitung penggunaan daya listrik. Perlu dilakukan tera/kalibrasi kwh meter secara berkala,” ucapnya.
Kabid ESDM Dinas PU ESDM DIY, Parmuji Ruswandono, menyatakan optimalisasi EBT di DIY masih banyak mengalami kendala regulasi yaitu perda sebagai payung hukum untuk optimalisasi penggunaan DAK (Dana Alokasi Khusus) bidang kelistrikan.
Dengan adanya perda tersebut maka akan ada perimbangan subsidi bidang kelistrikan dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan Rachmawan Budiarto menyatakan pada saatnya akan terjadi transisi pemanfaatan energi listrik secara dua arah. Artinya masyarakat akan didorong memproduksi energi listrik dan dibeli oleh PLN.
“Ke depan, KWH meter yang disediakan oleh PLN harus yang sudah model ekspor impor aliran listrik. Pemda DIY supaya bisa membuat data besaran potensi listrik di DIY sehingga bisa menjadi acuan investor untuk menanamkan modal di bidang kelistrikan,” kata dia.
Rekomendasi
Dari FGD tersebut diperoleh kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan GKR Hemas. Pertama, permasalahan pemasangan listrik rumah tangga bagi warga kurang mampu di DIY.
Permasalahan itu meliputi Basis Data Terpadu (BDT) TNP2K kurang sesuai kondisi lapangan, verifikasi data N-1 saat pelaksanaan konstruksi kondisi sudah berubah, perbedaan NIK serta alamat antara KTP dengan BDT TNP2K, kondisi topografi wilayah, jarak rumah dengan jaringan PLN (pal tiang) terakhir kurang dari 60 meter dan NIK sudah dipergunakan orang lain seperti saudara, anak dan lain-lain.
Kedua, masih ada permasalahan pengembangan EBT. Ketiga, penerbitan regulasi turunan dari UU Cipta Kerja seperti PP dan Peraturan Menteri sebagai acuan regulasi ketenagalistrikan hendaknya dipercepat agar dalam tataran pelaksanaannya tidak mengalami kendala.
“Dalam rangka mempercepat elektrifikasi DIY dan guna menjamin pemerataan energi listrik bagi masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu, perlu memperbesar alokasi DAK bagi daerah,” kata GKR Hemas membacakan rekomendasi keempat.
Kelima, PLN harus bisa memastikan kualitas tegangan listrik sampai kepada masyarakat sesuai dengan tegangan yang disyaratkan yaitu sebesar 220 volt. Begitu pun dengan kalibrasi meteran pelanggan, hendaknya dilakukan secara berkala untuk memastikan keakuratannya.
Keenam, kampanye penggunaan energi terbarukan dan hemat listrik hendaknya dapat dimulai dari penggunaan energi listrik pada gedung-gedung pemerintahan sebagai contoh kepada masyarakat. Pemerintah kabupaten/kota dapat memasukkan hal ini pada RPJMD 2021-2025.
Ketujuh, perlindungan hak konsumen listrik berupa hak mendapatkan pelayanan yang baik, mendapat listrik yang berkualitas dan harga yang wajar serta hak mendapatkan ganti rugi atas kesalahan atau kelalaian operasional oleh PLN perlu menjadi perhatian bagi PLN.
Ini merupakan ketentuan yang harus ditaati sebagaimana diatur baik dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. (*)