SEBAGAI agama rahmatan lil alamin, ajaran-ajaran Islam kerap menampilkan korelasi kewajiban individu yang bersanding dengan kewajiban sosial.
Salat, zakat, puasa, haji merupakan di antaranya. Setiap hari dan tahun, di antara kita ada yang melakukannya.
Namun sejauh mana ibadah kita berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bermasyarakat?
Di antara ibadah-ibadah itu, puasa merupakan ibadah yang tidak tampak sehingga sulit dinilai oleh sesama manusia.
Kelebihannya adalah diawasi langsung dari Allah SWT, sebagaimana disampaikan hadits Qudsi, bahwa puasa ini adalah ibadah untuk-Nya dan Dia sendiri yang akan mengganjar hamba yang berpuasa.
Oleh sebab itulah, ibadah ini mengajarkan kejujuran.
Puasa yang sedang kita jalani ini merupakan upaya menahan lapar dan haus dalam kurun yang ditentukan.
Definisinya memang sangat sederhana, tujuannya pun jelas, yaitu menjadi manusia yang bertakwa (Q.S. 02: 183).
Akan tetapi, implikasinya sangat luas.
Mengapa definisinya sangat sederhana? Sebab apa yang masuk dari mulut ke dalam tubuh kita adalah kunci dari perilaku sehari-hari, yang pada akhirnya akan berhubungan dengan hawa nafsu yang dapat mengontrol pola pikir kita.
Bahkan munculnya penyakit dalam diri manusia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari makanan yang dikonsumsi.
Lalu mengapa waktunya setengah lingkaran matahari? Itulah waktu di mana kita terjaga dan banyak melakukan aktivitas.
Jika saja puasa dilakukan malam hari, tentu akan lebih mudah kita jalani dan implikasinya lebih ke personal sebagaimana ibadah salat malam.
Secara teknis, kita berpuasa dengan cara yang sama menurut fikih, tetapi impilikasi yang dicapai berbeda-beda.
Kita bisa memilih,apakah manfaat puasa kita meluas atau cukup untuk diri sendiri.
Kehidupan berbangsa
Puasa merupakan implementasi dari sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, dan negara menjamin bagi siapa saja yang melaksanakannya.
Untuk itu, puasa mestinya dapat dijadikan sebagai media untuk memperkuat karakter bangsa karena dapat melahirkan manusia yang memiliki prinsip saling menolong, solid, ikhlas, sabar, dan jujur.
Kejujuran merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan kita, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Satu kebohongan akan merusak, dan dapat melahirkan kebohongan yang lain.
Jujur sebagai pemimpin dan jujur sebagai rakyat tidak perlu dituntut, sebab merupakan kesadaran.
Dan kesadaran itu akan melahirkan bangsa yang maju.
Dan karena dalam pengawasan langsung, mestinya puasa dapat menjadi media komunikasi yang intim dengan Allah SWT Inilah momentum untuk berdoa demi kebaikan bangsa kita.
Kehidupan Bermasyarakat
Keberhasilan kita dalam menjalani ibadah puasa tecermin dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita masih saja bertikai dengan sesama Muslim, bertikai dengan sesama anak bangsa, sikap yang jelas bertolakbelakang dengan ajaran Islam yang selalu menyerukan kedamaian (Q.S. 49: 10).
Dalam kedamaian itu,akan datang rahmat Allah SWT.
Sementara itu, kita sendiri berkeyakinan bahwa kita adalah saudara.
Lahirnya pertikaian tak lain adalah karena tak mampu menyikapi perbedaan secara dewasa.
Kita digelapkan oleh pilihan yang fanatik sehingga lupa pada ikatan persaudaraan. Padahal, dalam perbedaan itu ada rahmat Allah SWT.
Islam mengajarkan lemah lembut (Q.S. 05: 54), kasih sayang (Q.S.48:29), rendah hati (Q.S.15:88), saling mengasihi dan tolong-menolong (Q.S.05: 2).
Semua sikap itu bisa kita tempa dalam diri masing-masing melalui puasa di bulan Ramadan ini.
Kehidupan personal
Kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang baik tidak akan tercapai jika kita enggan memperbaiki kehidupan personal.
Perbaikan itu bisa dilakukan kapan saja, tetapi Ramadan memberi nilai lebih kepada kita dan dapat dimanfaatkan sebagai suatu gerakan kebaikan.
Puasa dilakukan oleh orang-orang yang beriman, dan cirinya adalah selalu mencari rida Allah SWT.
Tidak perlu selalu diasumsikan sebagai sesuatu ibadah yang berorientasi pada akhirat, tetapi segala aktivitas sehari-hari dapat dijadikan media untuk meraih rida Allah SWT.
Bekerja diniatkan untuk menafkahi keluarga, belajar diniatkan untuk menuntut ilmu Allah Swt, bahkan tidur pun diniatkan untuk menghindari maksiat, dan seterusnya.
Setiap ibadah memiliki tujuan untuk kebaikan.Tetapi banyak ibadah yang keberhasilannya ditentukan justru setelahnya, meski dari sisi kewajiban telah gugur.
Pun demikian dengan puasa. Kita bisa mengukur diri, apakah kebaikan-kebaikan yang kita lakukan selama satu purnama ini akan kontinu di bulan-bulan berikutnya, atau hanya mengikuti tren religius masyarakat kita? (*)
*Artikel ini bisa dibaca juga di jogja.tribunnews.com