Negara wajib memberikan perhatian yang besar kepada penyandang disabilitas, terutama dalam penyediaan berbagai fasilitas. Kewajiban tersebut tidak hanya dalam bentuk kebijakan, tapi hingga memfasilitasi sarana-sarana yang memudahkan pengguna, utamanya kalangan disabilitas.
“Banyak ayat bertebaran menjelaskannya. Ini sekali lagi menegaskan bahwa agama Islam memang agama manusia, yang semuanya tentu sudah disesuaikan dengan fitrahnya. Oleh karena itu, keterbatasan fisik tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan kewajiban atau mengelak dari suatu larangan agama,” kata Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam Webinar Hari Disabilitas yang diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman pada Minggu malam (6/12).
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Gus Hilmy ini menjelaskan bahwa prinsip memudahkan ini mestinya juga bisa diwujudkan dalam penanganan atau penyediaan sarana prasarana peribadatan. Apabila mereka dianggap sebagai orang yang dihitung sebagai anggota Jumatan, maka antara kewajiban kita menyediakan fasilitas-fasilitas berhubung dengan keragaman kemampuan mereka. Seperti menyediakan fasilitas jalur kursi roda dan tempat wudlu yang ramah dan nyaman untuk mereka.
Sementara itu, kewajiban negara menurut Gus Hilmy, tidak hanya menyiapkan kebijakan yang pro disabilitas, tapi juga wajib menyiapkan segala fasilitas publik yang ramah bagi mereka seperti jalan, trotoar, jembatan, dan lain-lain. Di bidang pendidikan, negara harus menyiapkan jenjang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khusus di suatu daerah tertentu. Demikian juga menyiapkan sekolah lanjutan bagi lulusan SLB.
Di bidang ketenagakerjaan, negara wajib memberikan peluang bekerja yang sama kepada mereka, dengan memberikan syarat-syarat yang tidak membatasi secara fisik.
Demikian pula dalam bidang politik. Negara tak bisa menghalangi hak politik kalangan difabel dengan memberikan pembatasan-pembatasan yang terkait dengan aspek medik dan jasmani. Padahal yang diperlukan adalah kemampuan atau kompetensi dalam hal kepemimpinan.
Terkait dengan regulasi, Anggota Komite III DPD RI ini mendorong Pemerintah agar mempercepat terbentuknya Komisi Nasional Disabilitas sebagaimana amanat UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Komisi ini penting, agar negara memberi wadah bagi penyandang disabilitas untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak mereka, menghapus stigma negatif dan meminimalisir perlakuan diskriminatif sebagian anggota masyarakat terhadap mereka,” ujarnya.
Webinar dengan tema Keramahan Fikih Islami Terhadap Penyandang Disabilitas juga menghadirkan pembicara K.H. Ma’ruf Khozin (Direktur Aswaja Center PWNU Jatim).
Dalam pemaparannya, Kiai Ma’ruf menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw telah banyak menyontohkan penerimaannya terhadap kaum disabilitas. Di antara yang populer adalah muazin pada zaman Nabi adalah seorang tunanetra, yaitu sahabat Abdullah bin Ummi Maktum.
Sahabat Umar juga pernah ditegur oleh Nabi Muhammad ketika mencium Hajar Aswad karena mentang-mentang besar dan kuat sehingga menyingkirkan yang lemah.
“Sebelumnya, perlakuan para sahabat terhadap kaum disabilitas sangat diskriminatif, bahkan untuk makan bersama saja tidak mau. Lalu Nabi memberikan contoh-contoh untuk menerima mereka. Kalau bicara tentang keramahan dan memperlakukan manusia, Rasulullah adalah referensi utama,” kata alumni Pondok Pesantren Al Falah Ploso tersebut.
Terkait penyediaan fasilitas untuk kaum disabilitas, Kiai Ma’ruf juga menyatakan bahwa pemerintah wajib menyediakannya. Tidak hanya untuk fasilitas ibadah, melainkan juga fasilitas publik.
Penyediaan fasilitas ini mendapatkan respon dari seorang peserta, Ahmad Soleh. Menurutnya, fasilitas yang disediakan tersebut tidak hanya untuk kaum disabilitas, tetapi untuk umum seperti ibu hamil, orang tua, dan lain sebagainya.
“Kita semua akan mengalami disabilitas dan memanfaatkan fasilitas tersebut, hanya kapannya yang kita tidak tahu,” katanya.