Pakar hukum dari HICON Law & Policy Stategies, Nadirsyah Hosen, meminta agar semua pihak bekerja sama dan berhati-hati jika ingin mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami berpandangan menggugat ke MK itu pada satu sisi benar. Namun, jika tidak disikapi dengan hati-hati bisa mengundang kesalahpahaman dan ketidaksesuaian,” kata Nadir dalam keterangan pers, Sabtu (10/10).
Dosen Fakultas Hukum Monash University ini mengatakan bahwa gugatan ke MK itu harus jelas pasal yang mau dipermasalahkan. Kalaupun dikabulkan, maka yang akan dibatalkan MK hanya pasal yang digugat saja, sementara pasal yang lain aman.
Jika pasal yang digugat dan dibatalkan MK itu sangat krusial dalam UU Cipta Kerja, maka ada peluang bagi MK untuk membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan.
“Mengingat UU CK [Cipta Kerja] bicara tentang banyak bidang, maka tampaknya tidak akan ada satu pasal pun yang sangat krusial yang dapat membatalkan UU CK,” ujarnya.
Narasi gugatan ke MK hanya terbatas per bidang maupun per pasal yang dianggap bermasalah saja. Menurut Nadir, dibutuhkan usaha ekstra dan diperlukan kerja sama semua pihak terkait seperti akademisi, tokoh masyarakat, ormas, dan rakyat dalam melakukan uji materi.
Sikap kehati-hatian dan spesifik dalam menentukan argumen-argumen yang dijadikan dalil gugatan dibutuhkan agar gugatan ini tidak ditolak.
“Sikap jangan gegabah ini sebagai respons atas pernyataan Presiden Joko Widodo. Kita perlu berhati-hati,” ujarnya.
Dari Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Ki Darmantingtyas, satu pasal yang dinilai paling bermasalahan adalah Pasal 65.
“Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan,” ujarnya.
Menukil dari siaran persnya kepada Gatra.com, paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65 dinyatakan satu pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dua, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Karenannya meminta tidak memasukkan pendidikan sebagai barang jasa yang diperdagangkan, oleh karena itu pengaturannya harus dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja,” katanya.
Komite III DPD RI asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Hilmy Muhammad, berpendat UU Cipta Kerja ini memang usaha mempersingkat proses izin. Namun dalam beberapa hal, izin ini perlu melibatkan pemerintah daerah karena merekalah yang paling tahu dengan kepentingan daerah.
“Apalagi seperti kami di DIY, tidak mudah melestarikan adat budaya dan menjaga kearifan lokal, yang karena itu izin tidak mudah seenaknya dikeluarkan pemerintah pusat tanpa kulonuwun dengan pemda,” ujarnya melalui pesan pendek.
Editor: Iwan Sutiawan