KH. Muhammad Mubasysyir Mundzir, atau biasa dipanggil Mbah Mundzir (1919-1989), adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai kiai yang ahli ibadah, terutama shalat, dan pencinta ilmu. Kiai ini juga terbilang antique karena tidak tahu soal uang dan tidak suka difoto.
Mbah Mundzir yang berasal dari Nganjuk ini, dilahirkan pada tahun 1919 M. Pindah ke Kediri pada tahun 1967, dan kawin dengan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Munawwir pada tahun 1971. Beliau wafat pada tahun 1989 M, tepatnya pada 11 Jumadal-Akhirah 1409 H, persis dengan tanggal wafat mertuanya, KH. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Sebagai pecinta ilmu, Mbah Mundzir tidak malu belajar kepada orang yang lebih muda. Menurut keponakannya, Pak Kiai Hamid, meskipun beliau tidak bisa membaca, tidak bisa menulis dan tidak mengenal angka, tapi di antara yang istimewa adalah beliau senantiasa melakukan apa yang telah diajarkannya. Meskipun tidak bisa mengajar, beliau mengundang guru-guru, termasuk Pak Kiai Hamid, untuk mengajar para santri dan juga terhadap beliau sendiri.
Mbah Mundzir juga dikenang sebagai kiai yang tidak suka difoto. Kalau ada orang yang berusaha mengabadikan gambarnya, beliau akan langsung menutupi wajahnya, sambil berdzikir, “Ya Sattar, ya Sattar…”
Saya sendiri sempat terheran-heran ketika melihat kejadiannya seperti itu, sewaktu beliau menghadiri walimah khitan adik saya. Selesai acara walimah, ketika akan difoto, beliau berusaha menghindar dengan cara memegang pundak seseorang sebagai tameng agar wajahnya tidak terekam kamera.
Mbah Mundzir juga dikenal sebagai sosok kiai yang sederhana, zuhud dan tidak tahu soal uang. Beliau tidak bisa membedakan nilai uang 100, 500 dan 1.000 rupiah; 5.000 dan 10.000 rupiah. Beliau hanya membedakannya berdasarkan warna kertas, tanpa tahu nominalnya. Falhasil, beliau sering salah kalau memberikan uang.
Cerita-cerita mengenai hal ini masyhur adanya. Uang pemberian para jamaah yang memohon doa kepada beliau tidak pernah beliau ketahui jumlahnya. Apabila dapat “amplop”, ya langsung saja ditaruh di bawah kasur. Kalau ada orang yang sowan dan kemudian meminta uang atau sumbangan, beliau langsung saja memberikannya, tanpa tahu berapa jumlah uang yang ada di dalam amplop itu.
Pernah suatu ketika beliau memberi tukang becak Rp. 500, padahal jaraknya tidak seberapa, dan biasanya ongkos maksimal yang diberikan adalah Rp. 100. Pernah juga beliau dikasih uang 25.000 rupiah, yang waktu itu nilainya masih sangat besar. Uang itu langsung beliau bagikan kepada dua orang keponakannya, masing-masing 10.000, dan yang 5.000 diberikan kepada istrinya.
Ahli Shalat
KH. Mubassyir Mundzir terkenal sebagai kiai yang gemar ibadah, terutama shalat. Beliau digambarkan oleh Pak Kiai Hamid, sebagai sosok yang sangat menikmati shalatnya. Barangkali dua benjolan di dahi wajahnya, sebagai tanda atsar sujud, sudah bisa berbicara banyak. Apabila mau shalat, beliau selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Beliau selalu mandi terlebih dahulu sebelum shalat, apa pun shalat yang akan dikerjakannya.
Shalat jamaah sudah menjadi kewajiban bagi Mbah Mundzir. Untuk maksud pendidikan, beliau juga melaksanakan shalat Dluha dan shalat-shalat sunnat lainnya secara berjamaah dengan para santri. Menurut kesaksian Pak Kiai Hamid, hingga akhir hayatnya, beliau selalu mengerjakan shalat dengan berjamaah. Hanya sehari sebelum meninggal, beliau tidak berjamaah karena sakit yang sudah terlampau parah.
Shalat yang dilakukan oleh Mbah Mundzir mesti tepat waktu. Kadang meskipun masih 1 jam sebelum Dluhur, beliau sudah terlihat mondar-mandir ingin segera shalat. Layaknya orang jatuh cinta yang ingin segera bertemu dengan kekasihnya. Kadang, beliau juga tidak percaya dengan jam dinding, dan lebih memperhatikan “jam ndalem”, maksudnya, alat penanda waktu shalat manual yang dipasang di halaman masjid, guna mengetahui waktu shalat. Kegemarannya shalat tepat waktu inilah yang antara lain mendorong beliau berani usul kepada KH. Mahrus Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, waktu itu, untuk mengajukan shalat maktubah di Lirboyo agar tepat sesuai dengan waktunya.
Juga kesan Pak Kiai Hamid, Mbah Mundzir seperti bingung kalau mau shalat. Pak Hamid pernah nderekke Mbah Mundzir naik becak untuk keperluan shalat Jumat di Pondok Pesantren Lirboyo. Berangkat dari Bandar kira-kira masih pukul 10.30. Di perempatan jalan, lampu merah menyala. Tentu, tukang becak berusaha menghentikan becaknya. Tapi tiba-tiba beliau bilang kepada tukang becak:
“Cak, terus mawon.”
Si tukang becak tentu saja bingung. Dan hal ini diketahui oleh Pak Kiai Hamid yang kemudian mengingatkan beliau, “Pak, nanti becaknya dimarahi polisi.”
“Wis gak popo. Aturane Gusti Allah lebih penting daripada aturan dunyo!” Jawab Kiai Mundzir dengan mimik serius.
Mbah Mundzir juga tidak malu mengajak sesiapa untuk shalat. Pernah suatu ketika beliau menginap di Krapyak. Malam-malam beliau bangun dan mengetuk pintu kamar K.H. Ali Maksum. Beliau matur begini:
“Kiai, wungu, kiai. Wayahe Sholat tahajjud!”
Mengetahui pintu kamarnya diketuk-ketuk begitu, dari dalam kamar Mbah Ali bilang, “Ya, saya sudah bangun!” Hahaha.
Mbah Mundzir suatu ketika pergi ke Krapyak menghadiri acara walimah perkawinan K.H. Najib Abdul Qodir Munawwir. Di tengah acara walimah, bergemalah adzan Dluhur. Dengan tanpa beban, beliau maju mendatangi Pak Najib yang tengah berada di pelaminan, dan berkata, “Gus, ampun dangu-dangu nggih, acarane. Niki pun manjing waktune shalat!”
K.H. Ali Maksum yang melihat kejadian ini cuma senyum-senyum saja dari belakang.
Shalat Sebagai Solusi
Mbah Mundzir juga percaya bahwa shalat adalah jalan keluar dari berbagai masalah. Pernah suatu ketika Pondok mengadakan acara Maulid Nabi. Acara belum dimulai, listrik padam. Beliau terlihat agak sewot dan bilang, “Wong acarane muludan, memperingati kelahirane Kanjeng Nabi, kok malah listrik mati. Gak hormat karo Kanjeng Nabi.”
Beliau kemudian meminta kepada Pak Kiai Hamid dan para santri untuk shalat Hajat agar listrik bisa menyala.
“Gus, njenengan kalih lare-lare shalat Hajat mawon, nyuwun supados listrike diuripaken dening Gusti Allah.”
Pak Kiai Hamid kemudian shalat Hajat bersama beberapa santri. Tapi tetap saja, listrik masih mati.
“Nggih pun, Gus. Cobi mangke kulo surung lan kulo kuati shalat njenengan.”
Beliau kemudian shalat Hajat dua rakaat. Belum selesai satu rakaat, listrik sudah menyala dan tidak padam hingga akhir acara. Subhanallah.
Pernah juga suatu ketika Pak Kiai Hamid tidak kelihatan mengajar di Pondok. Mbah Mundzir kemudian datang ke Ploso, karena waktu itu Pak Kiai Hamid masih nyantri di Pondok Ploso. Beliau menanyakan, kenapa tidak datang dan mengajar di Pondok? Kiai Hamid menjawab sedang sakit gigi. Beliau langsung menyarankan Pak Hamid untuk shalat sunnah agar mempercepat kesembuhan giginya!
Cerita yang sama Pak Kiai Hamid terima dari istri beliau, yaitu Ibu Nyai Zuhriyah Munawwir. Suatu ketika Mbah Mundzir berkata kepada Mbah Zuhri.
“Nyai, wektu (kematian)-ku ketoe wis cedak…”
“Ampun rumiyin. Hamid dereng mriki (menetap di Bandar).”
“O, ngono, yo. Nek ngono matur lan nyuwuno neng Gusti Allah. Kono sampeyan shalat rong rakaat.”
Ketika meninggal, beliau sama sekali tidak meninggalkan uang sepeserpun. Hanya ada beberapa lembar kain sarung, beberapa baju dan jubah, sebuah sepeda onthel dan satu buah lemari kitab.
Di akhir hayat beliau, meskipun jarak antara rumah dan masjid cuma sejangkah saja, beliau banyak menghabiskan waktu untuk ibadah dan mengerjakan segala sesuatunya di masjid. Mandi dan meminta kiriman makanan ke masjid. Ibu Nyai Zuhriyah Munawwir pernah menceritakan langsung kepada penulis sewaktu sowan ke Kediri, bahwa Mbah Mundzir suatu hari mimpi dan kemudian menceritakan mimpi tersebut kepada istrinya.
“Nyai, aku ngimpi, sawahku karo sawahmu sesuk neng suwargo jembar sawahmu, lho.”
“Lha kok saget?” Bu Nyai Mundzir tanya kepada beliau.
“Lha sampeyan termasuk ahli Qur`an kok…” Subhanallah.
Rahimahumallah wa ghafara dzunubahuma wa askanahuma fasiha jannatih, amin.
Rabbi fanfa’na bibarkatihi # wahdinal-husna bihurmatihi,
wa amitna fi thariqatihi # wa mu’afatin minal-fitani, amin.
Catatan tentang KH. Muhammad Mubasysyir Mundzir ini merupakan resume saya terhadap penjelasan yang diberikan oleh keponakan beliau, Bapak KH. Abdul Hamid Abdul Qodir Munawwir. Bapak KH. Abdul Hamid, guru yang juga pakde saya ini—sesudah menghabiskan masa studinya di Pesantren Krapyak, Pesantren Sunan Pandanaran Sleman, Pesantren Ploso Kediri dan Pesantren Cidahu Banten asuhan Abuya Dimyati—diminta oleh Kiai dan Ibu Nyai Mundzir untuk meneruskan Pesantren Ma’unah Sari karena kedua beliau tidak dikaruniai keturunan. Riwayat cerita manaqib ini saya peroleh ketika saya bersama kawan-kawan santri Asrama Tamansantri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta sowan dan mengaji kepada beliau di Kediri, pada tanggal 7 Rabi’ul-Awwal 1432 H./10 Februari 2011 M.