Keistimewaan DIY antara lain ditandai dengan tata nilai Yogyakarta, yang bersumber dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Karena itu, Dr. KH. Hilmy Muhammad, M.A. mengusulakan agar ‘Budaya Jogja’ menjadi salah satu mata kuliah wajib di setiap kampus.

Menurut peraih gelar doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia Malaysia itu, dengan memiliki pengetahuan tentang tata nilai budaya Yogyakarta, para mahasiswa dan pelajar rantau setelah menyelesaikan studi dan pulang ke kampung halaman masing-masing akan mengaplikasinnya dalam kehidupan keseharian.

Dengan demikian, secara tidak langsung mereka akan menyebarkan budaya luhur Yogyakarta di daerah asal mereka.

Hilmy Muhammad lahir di Yogyakarta, 3 Desember 1971, merupakan putra dari KH. M. Hasbullah Abdus Syakur dan Hj. Hanifah Ali Maksum. Cucu dari KH. Ali Maksum itu menikah dengan Nur Chasanah Abdullah dan mempunyai tiga putra.

Tentang pertemuannya dengan sang istri, sambil bercanda Gus Hilmy mengungkapkan, Nur Chasanah merupakan santriwatinya.

“Setiap saya mengajar, dia suka lirak-lirik ke saya. Ya sudah, sekalian saja saya ajak menikah,” ungkapnya.

Sejak lahir, Gus Hilmy tak pernah lepas dari kehidupan pesantren, sehingga sekolahnya pun dobel. Ketika SD, pagi masuk sekolah umum, sore mengaji di madrasah.

Praktis Gus Hilmy kecil tak bisa seperti kehidupan anak-anak sebayanya yang setelah pulang sekolah bisa bermain.

“Saya pulang sekolah langsung persiapan ngaji di madrasah diniyah. Semua harus tepat waktu. Bapak saya terkenal sangat disiplin. Dan saya merasakan buah dari pelajaran disiplin Bapak,” katanya.

Semasa kuliah di Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Gus Hilmy aktif di Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMIII).

Dari kiprah tersebut, dia merasakan betapa ketidakadilan dipertontonkan rezim pemerintah yang berkuasa saat itu. Kondisi pemerintahan yang sangat tak kondusif tersebut ikut memengaruhi orientasi profesi Gus Hilmy.

“Saya sama sekali tak ada minta jadi PNS. Praktik ketidakadilan saat itu sangat terasa. Dalam rekruitmen PNS Departemen Agama, misalnya. Seharusnya sarjana IAIN yang mondok di pesantren memiliki kemampuan dan ilmu yang lebih dibanding yang tidak ngaji di pesantren. Karena kami yang nyantri, setiap hari diberi pelajaran tentang kitab. Namun saat itu jarang ada santri yang diterima jadi PNS,” paparnya.

Setelah menyelesaikan gelar sarjana agama, Gus Hilmy melanjutkan studi program master di Khartoum International Institute for Arabic Language, Sudan. Selanjutnya mengambil program dotoral di Universitas Kebangsaan, Malaysia.

Lahir dari keluarga Nahdliyin menjadikan Gus Hilmy punya komitmen mengabdi dan ingin berpartisipasi mengembangkan ormas yang didirikan para leluhurnya.

Dia aktif di pengurusan PWNU DIY, menjabat Wakil Rois Syuriah. Juga menjadi dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta. Selain itu, Gus Hilmy juga menjadi anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY.

Ketika kuliah di luar negeri, dia aktif di Pengurus Cabang Internasional (PCI) NU.

“Bagi saya, NU sudah menjadi bagian hidup. Organisai yang menurut survei LSI (lembaga Survei Indonesia) diikuti oleh hampir 50 persen responden dan merupakan ormas terbesar di Indonesia, punya potensi yang luar biasa. Namun sayang, mayoritas warga NU kehidupannya termarginalkan. Berarti selama ini ada kebijakan yang salah dari pemerintah,” katanya sambil menambahkan, sebenarnya tak sedikit tokoh NU yang memiliki kemampuan lebih. Namun sifatnya masih personal atau hanya sebatas keluarga.

 

* Dimuat di koran Minggu Pagi No. 08 TH 73 Minggu IV Mei 2020, halaman 2.