Yogyakarta, nu.or.id – Kementerian Agama untuk kali pertama menggelar Muktamar Pemikiran Santri Nusantara. Kegiatan ini digelar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada Rabu-Jumat (10-12/10).
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak KH Hilmy Muhammad mengatakan bahwa pemilihan Krapyak sebagai tuan rumah sangat tepat mengingat banyaknya intelektual yang lahir dari pesantren yang didirikan oleh KH Muhammad Munawwir pada tahun 1911 itu.
“Muktamar ini tepat sekali dilangsungkan di tempat karena sejarah pesantren ini dipenuhi para aktivis pergerakan, pergerakan sosial dan kemasyarakatan,” katanya pada pembukaan, Rabu (10/10).
Ia menyebut beberapa nama kiai. Dalam bidang perjuangan, ada putra sulung KH Munawwir, yakni KH Abdullah Affandi Munawwir yang pernah menjadi anggota Konstituante. Adiknya, yakni KH Abdul Qadir Munawwir juga terlibat aktif dalam pergerakan awal NU Yogyakarta, selain bertanggung jawab sebagai penerus pengajian Al-Qur’an di Krapyak.
Selain itu, menantu Mbah Munawwir, yakni KH Ali Ma’shum juga aktif dalam Nahdlatul Ulama. Bahkan ia didaulat sebagai Rais Am PBNU. Kiai Ali juga didapuk menjadi salah seorang anggota konstituante dan anggota penerjemah Al-Qur’an pertama.
Keterlibatan KH Munawwir dalam pergerakan perjuangan dan NU juga tidak bisa dinafikan. Hal ini tidak dapat dipungkiri dengan kedatangan para ulama seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH R Asnawi Kudus, KH Abbas Buntet, KH Dimyati Tremas, dan KH Dalhar Watucongol.
Melihat tema, Kiai Hilmy juga menyatakan bahwa Pesantren Krapyak tepat dipilih sebagai tuan rumah muktamar tersebut. Pasalnya, tak sedikit kiai Krapyak yang menulis kitab. “Muktamar ini tepat sekali dilangsungkan di sini karena banyaknya kiai intelek yang bertabur karya hebat berasal dari pesantren ini,” ujarnya.
Kiai Hilmy menyebut KH Ali Ma’shum sebagai salah satu kiai intelektual. Dari tangannya, lahir beberapa karya, yakni metode tasrifan gaya baru, khas Krapyak. Putra Kiai Ma’shum Lasem itu menciptakan metode tasrif nashara yanshuru unshur, berbeda dengan metode tasrif pada umumnya, nashara yanshuru nashran. Kiai Ali juga menulis kitab monumental, yakni Hujjatu Ahlis Sunnah wal Jamaah.
Adik ipar Kiai Ali Ma’shum, yakni KH Zainal Abidin juga melahirkan beberapa karya. Kiai Hilmi menyebut di antaranya adalah Wadhaiful Mutaa’limin (tata cara belajar), al-Muqtatofat (kumpulan hadis-hadis), al-Furuq, yakni kitab yang menyebutkan perbedaan dua hal yang berdekatan dan berlawanan.
Selain kitab-kitab, kiai Krapyak juga membuat kamus. Para santri tentu tak asing dengan Kamus al-Munawwir yang dianggit oleh KH Ahmad Warson Munawwir dan Kamus al-‘Ashri yang disusun oleh KH Attabik Ali.
“Kamus-kamus ini menjadi karya masterpiece yang menyesaki rak buku pelajar Muslim di manapun mereka berada,” ujar Kiai Hilmy.
Wakil Rais Syuriyah Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga mengingatkan kepada seluruh peserta muktamar agar dapat memanfaatkan kesempatan menghadiri kegiatan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Gus Hilmy, sapaan akrabnya, juga berharap agar muktamar ini dapat membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia sekaligus membawa kecerahan bagi semua kaum santri.
“Keharusan kita ke depan adalah membawakan Islam yang senantiasa ramah yang siap berdampingan dengan warga masyarakat di belahan dunia manapun dan berprestasi dalam bidang apa pun yang ditekuninya,” pungkasnya.
Acara pembukaan ini dihadiri oleh Menteri Agama H Lukman Hakim Saifuddin, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Najib Abdul Qadir, Pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Ali Ma’shum KH Attabik Ali Ma’shum, Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta KH Asy’ari Abdullah Tamrin, dan Rais Syuriyah PWNU DI Yogyakarta KH Masud Masduqi. (Syakir NF/Kendi Setiawan)