Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menuai kontroversi. Banyak tokoh yang mengkritik, utamanya karena menghilangkan penyebutan Madrasah sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia. Hal itu dianggap sebagai upaya peniadaan peran madrasah selama ini.

Menanggapi polemik ini, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo sempat menyampaikan akan memunculkan kembali kata Madrasah dalam Penjelasan UU. Namun hal ini dinilai kurang memfasilitasi, karena dalam UU Sisdiknas 2003 saja, yang Madrasah sudah disebutkan sejajar dalam peranannya dengan sekolah, perhatian pemerintah masih kurang, apalagi ini tidak disebutkan.

Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. mengingatkan bahwa ini momentum bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada Pemerintah sebelum RUU tersebut masuk dalam Prolegnas DPR RI tahun ini.

“Namanya juga masih RUU, jadi justru memberi peluang kepada kita semua segenap komponen masyarakat, khususnya stakeholder pendidikan, untuk memberi masukan, kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikannya sebelum nanti menjadi UU,” pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut ketika diminta tanggapan tertulis, Selasa (29/03).

Menurut pria yang akrab disapa Gus Himy tersebut, penyebutan nama Sekolah maupun Madrasah dianggap sama saja. Tetapi bila kurikulum madrasah sekarang ini bisa lebih diserap oleh “sekolah”, maka akan lebih baik. Bahkan, menurutnya, kurikulum Madrasah lebih menjanjikan.

“Terus terang, struktur kurikulum di madrasah hari ini justru lebih menjanjikan anak memiliki kualifikasi akademik yang dibutuhkan oleh pelajar seusianya, dan juga pengetahuan moral dan keagamaan yang mencukupi. Ini berbeda dengan lulusan SD, SMP, SMA atau SMK yang dirasa sangat kurang dalam hal pendidikan moral dan keagamaannya,” ujar pria yang juga salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.

Menurut Gus Hilmy, hari ini masyarakat sangat sulit berharap lulusan jenjang-jenjang sekolah itu, bagi yang beragama Islam, mampu membaca al-Qur’an dengan baik. Mereka yang mampu membacanya dengan baik adalah karena mereka juga sekolah agama di sore hari, ngaji di masjid atau kursus sendiri. 

“Padahal kita punya Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” tegas Anggota MPR RI tersebut.

Selain itu, Gus Hilmy juga mengingatkan kepada Kemendikbud agar memperjelas tujuan penghapusan kata Madrasah agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Sebab, masyarakat saat ini menafsirkan negatif penghapusan tersebut. 

“Apabila semangatnya adalah reunifikasi dua badan penyelenggara pendidikan dalam kerangka penyetaraan perlakuan, pembinaan dan penganggaran, maka itu ide yang bagus dan menarik,” kata pria yang juga Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut. 

Selama ini, menurut Gus Hilmy, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang kelulusannya dianggap setara dengan SD, SMP dan SMA, tapi masih terasa sekali seperti dianaktirikan, baik dalam hal pembinaan, penganggaran maupun peluang melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Akan tetapi bila semangatnya adalah meninggalkan madrasah semakin terbelakang, maka itu namanya tidak fair dan tidak adil. Dan itu yang justru harus kita lawan. Dan sudah terbukti kan dengan UU Sisdiknas 2003, yang di situ disebut madrasah, akan tetapi perlakuannya sama sekali jauh dari setara,” tegas Gus Hilmy.