Lembaga pesantren dibagun di atas tiga pilar, yaitu pilar guru atau kiai, pilar murid atau santri, dan pilar masjid atau pondok sebagai pusat kegiatannya. Ketiganya membentuk satu kesatuan yang biasa disebut pesantren.

Apabila disebut istilah pesantren, yang terbayang kemudian adalah sebuah lembaga pendidikan. Dan memang pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua khas Jawa. Lembaga ini warisan para wali penyebar Islam di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, pesantren memiliki beberapa kekhasan. Antara lain, santri atau alumni pesantren, umumnya adalah orang yang bisa mengaji dan ngalim atau memiliki etika Islam-kebangsaan yang kental.

Kata kunci yang membedakan lembaga pendidikan ini dengan yang lain antara lain terletak pada peran dan fungsinya yang bukan sekadar lembaga transfer pengetahuan. Lebih dari itu, pesantren mengajarkan moral dan etika kehidupan serta keteladanan dalam pergaulan di tengah masyarakat.

Luasnya pembicaraan kita di atas, tulisan ini hanya akan membicarakan salah satu pilar pesantren, yaitu santri dengan berbagai karakter yang membentuknya. Tentu terlalu singkat dan tidak begitu komprehensif, akan tetapi insya Allah dapat memberi sedikit gambaran bagaimana mestinya berkarakter sebagai santri.

Empat Karakter Santri

Beberapa hal yang menjadi karakter utama seorang santri, antara lain:

1.           Kepatuhan

Kepatuhan bagi seorang santri kepada kiai dan guru adalah niscaya. Bagi santri, kiai dan guru adalah murobbi ruhihi atau orang yang membina kebaikan jiwanya. Kedudukannya bahkan lebih tinggi dari bapak-ibunya, sebab kalau bapak-ibu adalah orang tua yang bersifat biologis, maka guru atau kiai adalah orang tua yang bersifat ruhiyyah atau spiritual. Kiai atau guru, sekali lagi, bukan hanya orang yang berlaku sebagai mediator atau sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi kiai adalah orang yang membimbing kejiwaan dan memberikan bekal pengetahuan keagamaan santri sekaligus memberikan keteladanan dalam semua aspek kehidupan.

Keberadaan kiai sebagai murabbir-ruh mengharuskan santri memberikan ketaatan dan kepatuhan sepenuh hati; memberikan penghormatan tanpa henti, dan melaksanakan semua tugas yang diperintahkannya tanpa bertanya lagi untuk yang kedua kali. Barangkali ini adalah bentuk dan pengejawantahan maqalah dari Sahabat Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhah.

أنا عبدُ مَنْ علَّمني حرفا واحدا

(Saya adalah hamba sahaya dari orang yang telah mengajariku (meskipun) satu huruf saja).

Tapi tentu, apalagi di Krapyak, kepatuhan santri terhadap kiai tidak sesaklek itu. Para kiai di Krapyak tidak begitu suka bermodel feodal. Mereka lebih kebapakan dan egaliter. Di pondok ini, biasa berlaku kiai bal-balan, badminton atau pingpong bareng dengan santrinya. Tapi diharapkan kondisi yang seperti ini jangan disalahgunakan atau disalahartikan.

2.           Kemandirian

Sebagaimana ciri penting lembaga pesantren, kemandirian juga menjadi salah satu karakter utama bagi santri. Di pesantren, santri diajari me-manage dirinya sendiri; dibiasakan mengatur waktunya sendiri dan memilih teman yang sesuai dengan seleranya sendiri. Fal-hasil, sejak pertama kali datang, santri memaksa dirinya mengurus dan memenuhi segala keperluannya sendiri.

Aspek pendidikan yang terpenting dalam hal ini tentu saja adalah masalah kedewasaan, yaitu bagaimana santri tidak terbiasa cengeng dan mudah mengeluh dengan masalah sehari-hari. Aspek ini selanjutnya mendorong santri berlaku jujur, cerdas, terampil, kreatif dan disiplin menghadapi segala sesuatunya sendiri.

3.           Kesederhanaan

Kesederhanaan juga menjadi aspek terpenting bagi karakter santri. Sebagaimana lembaga pesantren yang umumnya dikelola swasta-swadaya, tentu kekurangan fasilitas adalah masalah yang lumrah dan biasa. Kesederhanaan membiasakan santri untuk berlaku qona`ah dan tidak bersikap berlebih-lebihan. Kesederhanaan juga mengajarkan santri agar membiasakan diri memandang setara terhadap sesama tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Aspek ini kemudian mendorong santri agar terbiasa dengan keadaan apa adanya dan mengajari santri bisa hidup di mana saja.

4.           Kebersamaan dan Kekeluargaan

Sikap kebersamaan dan kekeluargaan juga menjadi ciri pembeda santri dengan pelajar lainnya. Sikap ini bisa muncul dikarenakan kehidupan santri mengharuskan mereka mesti bergaul, berinteraksi dan hidup berdampingan selama sehari semalam, dalam berbagai bentuk kegiatan. Tentu dalam pergaulan ada suka dan duka. Hal ini yang justru memberi warna dan semakin mengokohkan ukhuwwah di antara mereka, seperti sebuah keluarga. Sikap ini pada gilirannya akan menimbulkan persatuan, kebersamaan, toleransi, kesetiakawanan, gotong royong, tolong-menolong dan saling membantu dalam segala urusan mereka, bahkan sesudah mereka selesai belajar di pesantren.

Karakter-karakter di atas menjadi inti kejiwaan dari seseorang yang disebut santri. Karakter ini akan menjadikan seorang santri sebagai pribadi yang kuat dan tangguh, serta siap hidup di tengah masyarakat. Apabila santri mampu mentransfer karakter dan kepribadiannya ke tengah masyarakat luas, tentu automatically dia akan mampu mewarnai karakter kehidupan bangsa ini.

 


Tulisan singkat ini disampaikan Gus Hilmy pada “Pekan Ta’aruf 2010 PP. Al-Munawwir Komplek L Krapyak Yogyakarta”, 24 Oktober 2010 M./23 Dzul-Qa’dah 1431 H. dengan tema: Peran Strategis Pesantren Dalam Membentuk Karakter Bangsa.