K.H. Abuya Muhammad Dimyati atau lebih dikenal dengan julukan Mbah Dim Banten, merupakan sosok kiai yang sangat masyhur di Indonesia. Beliau adalah sosok guru dan mursyid yang zuhud dan wira’i.  Kekeramatannya terlihat dari himmah dan dedikasi hidupnya yang sepenuhnya untuk mengajarkan ilmu.

K.H. Abuya Muhammad Dimyati bin H. Muhammad Amin dilahirkan pada tahun 1925. Sejak kecil mondok dengan berpindah-pindah, mulai dari Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Bantul, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu, dan masih banyak lagi. Pada 1965, beliau mendirikan pesantren di Cidahu, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten. Beliau dipanggil oleh Allah Taala pada 7 Sya’ban 1424 H./3 Oktober 2003 M., meninggalkan tiga orang istri dan delapan anak.

***

Abuya Dimyati dikenal sebagai kiai yang melanggengkan puasa sejak sesudah beliau kawin. Anak-anak, istri, dan santri-santri beliau juga disuruh membiasakan diri berpuasa, meskipun sekedar puasa Senin-Kamis. Dalam berbuka puasa, beliau juga terkesan sangat sederhana. Bahkan sering beliau hanya makan sekali, untuk sahur dan berbuka. Mirip seperti Imam Nawawi di Siria.

Abuya yang hafidz Alquran, menggunakan waktu-waktu luang di luar jam mengajar dengan nderes Alquran. Yang luar biasa, setiap bulan Ramadlan, beliau mampu menghatamkan Alquran dalam sekali Shalat Tarawih! Subhanallah.

Santri-santri beliau waktu itu hanya berjumlah belasan. Mereka dari golongan “menengah ke atas”, maksudnya, sudah mampu membaca kitab. Jadi, santri-santri itu modelnya hanya tabarrukan saja. Sistem pengajiannya bandhongan. Sorogan hanya untuk setoran Alquran. Tidak ada fasilitas gothaan atau kamar tersendiri, mereka dipersilakan membuat tempat atau kamar tinggal sendiri di kebun beliau. Tanpa ada beban biaya apa pun, beliau hanya mengharuskan santri-santrinya untuk rajin jika benar-benar berniat mondok.

Meski sudah memiliki beberapa santri, pondok itu belum juga memiliki papan nama. Para santri pun berinisiatif ingin membuatnya. Namun saat niat itu dihaturkan, beliau justru melarang.

“Pondok kok dikei plang, koyo dodolan opo ae.” Jawab Abuya Dimyati.

Semangat, kerajinan, dan ketekunan Abuya Dimyati dalam mengajarkan kitab-kitab salaf sungguh sulit dicari tandingannya. Kegemaran dan kecintaan beliau mengaji bahkan membuatnya berkata, “Thariqah aing mah ngaji!” (Thoriqoh saya cuma ngaji). Berikut beberapa hal yang barangkali bisa menjadi iktibar:

Abuya bermaksud dan berniat mengajar ngaji kepada anak-anak dan istrinya. Santri seakan sekadar pelengkap saja. Beliau belum akan mulai mengajar sebelum semua anak dan istrinya lengkap ada di majlis. Beliau menyatakan bahwa yang beliau ajar mengaji hanyalah anak-anak dan istri. Santri itu sekadar ikut-ikutan mengaji. Hal ini juga beliau terapkan dalam jamaah lima waktu. Beliau belum akan memulai shalat sebelum anak istrinya lengkap ada di situ. Jadi kalau belum lengkap, semuanya harus berusaha mencari sak ketemune.

Beliau mengajar tiga sampai empat kitab dalam sehari. Waktunya habis Subuh hingga sekitar jam 7 pagi; jam 9 hingga hingga jam 11 pagi; habis Dhuhur hingga Ashar, habis Isya hingga jam 10-11 malam. Beliau kadang menerima setoran Alquran pada malam hari, pada jam 12an hingga jam 1 atau jam 2 malam.

Kitab yang diajarkan bukan kitab kecil-kecil, tapi kitab kuning besar-besar. Segala macam kitab hadits shahih dan sunan, kitab-kitab tafsir, fiqh, dan ushul fiqh berbagai madzhab. Bahkan, kitab Miftahul-Ulum karya Imam as-Sakkaki yang sudah tidak lazim dibaca di pesantren-pesantren masa kini, beliau bacakan. Mengingat kitab-kitab yang dibaca adalah kitab-kitab besar, maka satu kitab kadang diselesaikan dalam beberapa tahun.

Waktu mengaji dan jamaah adalah waktu yang tidak bisa diganggu gugat. Komitmen inilah yang kemudian menghalangi beliau berkiprah di tengah masyarakat. Untuk itu, beliau telah minta izin kepada ulama-ulama seluruh Serang dan Banten. Dan karena komitmen ini juga, beliau akan membiarkan begitu saja siapa pun tamu yang datang pada saat yang tidak tepat itu. Meskipun tamu yang sowan adalah para jendral, sultan, atau bahkan presiden!

Kesungguhan dan kerajinan beliau dalam mengajar sungguh luar biasa. Berdasar kesaksian K.H. Abdul Hamid Abdul Qodir, selama tiga tahun mondok di sana, tidak pernah ada sehari pun libur mengaji, kecuali pada hari libur mingguan. Kematian putra Abuya Dimyati pada suatu hari, hanya dilewatkan libur sehari untuk kemudian mengaji lagi. Ndalem beliau juga pernah kebakaran. Dan yang luar biasa, kebakaran terjadi pada hari Senin, hari Rabu pagi beliau sudah memulai ngaji dengan menggelar tikar di depan ndalem. Beliau pun memulai ngaji pada hari kedua Idul Fitri. Bahkan beliau pernah mengaji sesudah Subuh pada hari Idul Fitri.

Abuya dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wira’i. Ketika kebakaran menghanguskan rumah dan memusnahkan harta dan kitab-kitabnya, beliau tetap terlihat tenang dan tidak merasa kehilangan apa pun. Ketika istrinya komplain, emas perhisannya meleleh dan tidak tersisa lagi, beliau hanya tertawa.

Wong bondo dijaluk sing nduwe, kok susah?!” Hahaha.

Sesudah kebakaran, beliau hanya langsung memerintahkan para santri untuk membelikan kitab-kitab yang dipakai untuk mengaji. Meskipun demikian, kebakaran itu sempat menyisakan penyesalan yang mendalam. Bukan karena kehilangan harta benda, atau karena harus membangun rumah baru, tetapi karena mushaf yang sudah beliau tulis bertahun-tahun dengan menggunakan minyak misik dan baru sampai Surat Yasin, ikut hangus terbakar. Rahimahullah wa ghafara lah.

 

Rabbi fanfa’na bibarkatihi # wahdinal-husna bihurmatihi

Wa amitna fi thariqotihi # wa mu’afatin minal-fitani, amin.


Catatan tentang KH. Abuya Muhammad Dimyati Banten ini saya (Gus Hilmy) sarikan utamanya dari penjelasan dan pengalaman santri sekaligus keponakan beliau, Bapak K.H. Abdul Hamid Abdul Qodir Munawwir, adik dari Bapak K.H. Muhammad Najib Abdul Qodir. KH. Abdul Hamid, guru yang juga pakde saya ini, nyantri kepada Abuya Dimyati di Banten selama tiga tahun lebih, sesudah beliau lulus dari Pesantren Krapyak, Pesantren Sunan Pandanaran Sleman dan Pesantren Ploso Kediri. Beliau saat ini mengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Bandar Kediri Jawa Timur. Riwayat kisah manaqib ini saya dapatkan pada saat nderekke beliau, Pak Najib, Pak Hafidz dan Pak Fairuzi selama perjalanan ke Jakarta, pada 4 Shafar 1432 H./9 Januari 2011 M.